Selasa, 09 Maret 2010

Austronesia dalam Sejarah: Asal Usul dan Bermacam-Macam Perubahan

Austronesia dalam Sejarah: Asal Usul dan Bermacam-Macam Perubahan
Peter Bellwood, James J. Fox, Darrel Tyron
28 May 2009
Bahasa Austronesia membentuk sebuah kesatuan keluarga yang sama dalam derajat perbedaan internal dan kedalaman waktu dengan bahasa besar lainya seperti Austroasiatik, Uto-Aztecan, dan Indo-Eropa. Sebelum 1500 SM, bahasa Austronesia termasuk salah satu keluarga bahasa yang paling banyak tersebar di dunia, dengan tingkat penyebaran lebih dari setengah jarak mengelilingi dunia, dari Madagaskar ke Kepulauan Easter. Sekarang, kelompok penutur bahasa Austronesia terdiri dari hampir atau semua populasi asli Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Madagaskar. Bahasa Austronesia juga dapat ditemukan di Taiwan (tempat yang diduga sebagai asal dari manusia Austronesia yang pertama), di bagian selatan Vietnam dan Kamboja, Kepulauan Mergui, Kepulauan Hainan di selatan Cina. Lebih jauh ke arah timur, bahasa Austronesia dituturkan di beberapa wilayah pantai di Papua Nugini, New Britain, New Ireland, dan di bagian rantai Kepulauan Melanesian yang melewati Kepulauan Solomon dan Vanuatu; juga New Caledonia dan Fiji. Dari sana mereka menyebar ke arah timur, mencakup semua bahasa Polinesia, dan ke arah utara mencakup semua bahasa Mikronesia.

Diperkirakan terdapat antara 1.000 sampai 1.200 bahasa Austronesia yang berbeda, berdasarkan kriteria bahasa yang membedakan bahasa dan dialek. Bahasa-bahasa ini dituturkan oleh sekitar 270 juta orang, di mana persebarannya benar-benar tidak merata. Sekitar dua juta penutur bahasa Austronesia hidup di daerah garis barat yang ditarik dari utara ke selatan sekitar 130º garis bujur timur, memanjang dari arah barat Kepulauan Caroline ke arah timur Bird’s Head di Pulau New Guinea. Penyebaran bahasa-bahasa ini pada area penutur Austronesia, bagaimana juga, berhubungan erat dengan lebih dari 500 bahasa pada sisi garis pembagi 130º garis bujur timur.

Bahasa-Bahasa Austronesia: Saksi Keturunan Biologis dan Kultural pada Tingkat Populasi
Fakta yang mengatakan bahwa banyak orang seharusnya berbicara bahasa-bahasa yang berhubungan dengan Austronesia sangatlah menarik, tetapi apakah fakta linguistik ini menjelaskan keseluruhan asal usul biologis dan kultural, dan juga sejarah dari populasi ini dengan cara yang baik? Bagaimana pun, semua orang yang berbicara bahasa-bahasa ini sekarang tidaklah serupa secara fisik. Akan muncul banyak tantangan, sebagai contoh, dalam membedakan mereka berdasarkan rata-rata penampilan hasil perkawinaan manusia penutur bahasa Austronesia Punan (Kalimantan), Agta (Luzon), Fijian dan Tahitian yang asli. Pengumpul kayu hutan dari Punan, Muslim Melayu urban di Kuala Lumpur, dan penghuni pulau karang Mikronesia akan tampak memiliki sedikit persamaan dalam segi sosial-ekonomi dan keagamaan. Penampilan fisik dan kultural yang nampak dimanfaatkan sebagai jalur identitas kesukuan di banyak masyarakat komunitas modern, namun jalur semacam ini tidaklah kaku. Bahkan observasi terkini pada masyarakat modern di mana saja didunia ini akan memunculkan sedikit keraguan bahwa seseorang dalam masyarakat dapat menikah dengan orang dengan latar belakang biolois dan kultur yang berbeda; mengubah bahasa ibu mereka, atau mengadopsi kebudayaan baru dan gaya hidup ketika kondisi memungkinkan.

Namun bukan berarti semua orang atau masyarakat telah menjalani sebuah transisi fundamental sampai pada titik tertentu. Mayoritas dari individual di kebanyakan masyarakat dimasa lalu atau mungkin pada di masa kini, mengakhiri hidup mereka dalam cetakan kultur yang sama dengan seperti yang mereka mulai, menikahi pasangan mereka dan melahirkan keturunan yang mirip dalam penampilan fisik dan latar belakang kultur seperti diri mereka. Dalam beberapa masyarakat, hubungan kekeluargaan konservatif semacam ini nampak mendominasi diseluruh bagian sejarah, dimana disisi lain terdapat tekanan yang kuat untuk bercampur dengan populasi yang lain dan menciptakan tanda-tanda kultural dan biologis yang baru.

Demikian juga komunitas Austronesia; mereka telah benar-benar berubah di masa lalu. Dan diantara mereka terdapat bukti linguistic, biologis, dan arkeologis yang menunjukan tingkatan-tingkatan yang membedakan asal-muasal umum dari sekitar 6.000 tahun lalu. Komunitas Austronesia dengan jelas telah terbagi dan terdiversifikasi oleh sebuah cara yang rumit, dan inilah salah satu alasan mengapa penelitian masyarakat Asia Tenggara dan Oseania, baik dimasa lalu dan masa modern, dapat menjadi sebuah hal yang penuh tipuan dan juga berharga.

Orang-orang yang skeptik mungkin mempertanyakan leluhur mana—dalam hal kultural dan hal biologis—yang benar-benar termasuk kedalam 270 juta manusia penutur bahasa Austronesia pada saat ini. Pertanyaan ini sangatlah sulit untuk dijawab dengan mutlak karena setiap masyarakat Asutronesia memiliki sejarah yang berbeda dan akan sia-sia untuk menentukan tingkatan dari para penerima warisan “ke-Austronesia-an”. Namun beberapa pihak akan menolak penjelasan bahwa bahasa Austronesia disebarkan secara turun-temurun dengan cara peminjaman atau penyatuan populasi statis yang ada sebelumnya. Dengan kata lain, manusia-manusia yang tidak berpindah tempat telah terlebih dahulu menjadi beraneka ragam dan tidak serta merta “meminjam” bahasa Austronesia, walaupun penyebaran semacam itu mungkin telah terjadi di Melanesia Barat. Apakah setiap bahasa Austronesia menyebar hanya dengan cara itu, kita akan sulit menemukan pola penyebaran yang tidak terputus, bebas dari peristiwa linguistik substratum yang beraneka ragam di semua wilayah yang terpisah dari Melanesia Barat dan daratan Asia Tenggara.

Gambaran keseluruhan itu sangatlah masuk akal bagi pulau-pulau yang terhempas di Pasifik dan Madagaskar, bila seseorang menerimaversi keturunan dari bahasa Austronesia modern disebarkan sebagian besar oleh bangsa penjajah. Mungkin akan ada pengecualian dalam proses penyebaran bahasa memalui penjajahan, seperti yang kita ketahui dalam persebaran bahasa nasional modern masa kini seperti bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Tetapi dalam skala kelompok-bahasa-keseluruhan dengan penyebaran dan kedalaman waktu yang luas, tidak ada penjelasan lain yang masuk akal kecuali penyebaran oleh kolonisasi.

Sementara pembenaran prinsipal untuk warisan umum Austronesia adalah berdasarkan ilmu linguistik, kita dapat juga mengetahui benang sejarah, di samping interaksi dan perubahan yang berabad-abad dalam arena kebudayaan dan biologis. Sebagai contoh, mayoritas pembicara bahasa Austronesia diluar Melanesia dan bagian dari Filipina adalah pertalian biologis manusia “Mongoloid Selatan” (atau Asia Tenggara).

Beberapa tingkatan dari warisan tersebut juga tampak dalam fenomena-fenomena dari karakteristik kebudayaan tertentu yang tersebar luas, seperti praktek tato, penggunaan tiang penyeimbang di bagian pinggir kano, seni ethnografik dan pra-historik, karakteristik sosial seperti hirearki yang ditentukan kelahiran, dan penghormatan pada leluhur yang membangun keluarga. Secara umum terdapat sedikit hal yang dapat digolongkan sebagai manusia Austronesia yang “eksklusif” atau “unik” pada masa modern diantara wilayah-wilayah penutur bahasa Austronesia, dan kita tidak harus mengharapkan kaeadaan semacam itu. Demikian juga dengan tema dari buku ini berkenaan pada dua pihak secara parsial, focus kepada sejarah leluhur pada satu sisi, dan kultur- dan wilayah-dengan perubahan yang khusus disisi lainnya.

Austronesia Sebagai Kesatuan Phylogenetic
Untuk mendapatkan aspek-aspek terkonsep yang lebih baik dari leluhur dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara populasi dalam pengelompokan etholinguistic, dibutuhkan sebuah konsep “kesatuan phylogenetic”. Konsep ini baru-baru ini diterapkan pada salah satu cabang keluarga manusia Austronesia, yaitu manusia Polynesia, oleh Kirch dan Green (1987). Konsep ini dapat juga diterapkan pada seluruh Austronesia secara menyeluruh, sekalipun penerapannya dilakukan dalam skala ang lebih besar; baik ruang dan waktu. Pada dasarnya, ide dari hubungn phylogenetic berkisar pada asal mula dari sumber-sumber umum; dalam istilah cultural, ide ini dapat dikenali melalui pola dalam bahasa dan mayarakat, dalam istilah biologi dapat dikenali melalui konfigurasi kelompok genetik. Kesatuan phylogenetic, baik didefinisikan dari segi kebudayaan atau biologis, merupakan subjek dari proses pembedaan (divergence) atau radiasi terhadap elemen internal mereka melalui serangkaian proses seperti pemecahan populasi dengan pemisahan geografis yang subsekuen, kelompok manusia perintis atau reaksi kepunahan, adaptasi selektif untuk membedakan atau mengubah lingkungan, dan efek dari hubungan yang terjadi dengan masyarakat eksternal.

Mengidentifikasi masyarakat Asutronesia sebagai anggota dari kesatuan manusia phylogenetic Austronesia tidak menunjukan bahwa mereka masuk kedalam semacam spesies mahluk hidup dengan identitas yang tertutup. Kita mengetahui arti penting dari interaksi antara manusia Austronesia dan bermacam-macam populasi Non-Austronesia, tidak hanya dalam bidang bahasa tetapi juga dalam bidang biologi dan aspek kehidupan lainnya. Fakta tentang masa sejarah dan pra-sejarah manusia Austronesia 5000 tahun lalu menunjukan baik proses bifurcative (pencabangan) dan rhizotic dari sebuah perubahan cultural dalam sebuah terminology yang disokong oleh Moore (1994).

Sudah jelas bahwa untuk melakukan pendekatan terhadap pertanyaan tentang sejarah Austronesia dan leluhur dalam pengertian yang luas yang harus kita pisahkan, untuk tujuan heuristic, biologi, bahasa, dan kultur, walaupun banyak hal dalam kebudayaan yang terhubung pada bahasa. Bahasa, populasi dan kultur berevolusi, terbagi-bagi, dan bercampur melalui mekanisme yang overlapping. Ketika menentukan suatu hal dalam skala Austronesia secara keseluruhan, akan menjadi sangat naïf untuk menerima bahwa satu kesatuan linguistik, kultur, dan biologis, beserta batasan-batasan mereka harus berkorelasi secara tepat Walaupun secara relatif, kordinasi dan kolerasi tingkat tinggi merupakan bagian penting dari konsep kesatuan phylogenetic.

Salah satu implikasi utama dari buku ini adalah bahwa manusia Austronesia dan masyarakatnya terhubung oleh sebuah pencabangan, tetapi tidak tersegel oleh garis keturunan umum yang berjangka waktu kira-kira 6000 tahun. Namun semua orang yang ingin tahu mengenai sifat dasar dari manusia mungkin akan bertanya mengapa penyatuan semacam itu harus ada. Dengan kata lain, kenapa sebuah proses kolonisasi muncul, mencapai lebih dari setengah perjalanan mengelilingi bumi, dan batasan apa yang harus dihadapi atas tanda-tanda wilayah dari kolonisasi? Hal ini merupakan pertanyaan penting yang harus dipertimbangkan dari sisi sudut pandang yang berbeda. Mungkin tidak akan ada sebuah jawaban yang sederhana, namun pertanyaan itu layak untuk dipertanyakan.

Metode Perbandingan Dalam Linguistic dan Antropologi
Semua bahasa Austronesia dianggap meminjam bahasanya dari satu bahasa ibu, yang mungkin dituturkan di Taiwan pada sekitar 5000 tahun lalu. Banyak ahli menganggap bahwa keluraga bahasa Austronesia memiliki empat susunan sub kelompok teratas. Tiga diantaranya mencakup bahasa yang ada di Taiwan. Subgrup keempat—Malayo-Polinesian—termasuk semua bahasa Austronesia yang digunakan diluar Taiwan. Sub kelompok bahasa Austronesia inilah yang menjadi akar masalah dalam edisi ini.

Metode dasar yang digunakan untuk mengelompokkan bahasa Asutronesia adalah metode komparatif sejarah klasik, yang dikembangkan untuk mempelajari bahasa Indo-Eropa. Metode ini berdasarkan perbandingan sistematik dari bunyi-bunyi biasa yang berkorespondensi dengan bahasa sebagai langkah awal guna merekonstruksi bahasa kuno yang memunkinkan pencarian jejak bahasa ibu. Sekali rekonstruksi itu dicapai, bahasa individual dan kelompok bahasa dapat diteliti untuk menentukan inovasi apa yang mereka refleksikan berhubungan dengan bahasa kuno. Hal ini penting karena penyebaran inovasi-inovasi (phonological, morphosyntactic dan lexical) muncul diantara bahasa-bahasa dimana pengelompokan terjadi. Walaupun eksistensi dari bahasa Austronesia yang saling terhubung telah dikenali pada abad ke-17, penelitian komparatif sistematis Otto Dempwolff (1934-38) yang meletakkan dasar bagi banyak penelitian linguistik saat ini.

Pendekatan komparatif dalam studi Austronesia dalam antropologi telah jauh lebih bervariasi. Usaha penelitian yang berdasarkan wilayah telah berkontribusi pada studi Asutronesia dan secara bertahap untaian dari penelitian ini mulai bersatu dalam satu set ketertarikan dan pendekatan umum. Penelitian L.H. Morgan atas sistem kekeluargaan masyarakat Hawaii dan rancangan konstruksi keluarga “punaluan” (1870) dianggap sebagai kontribusi awal terhadap penelitian semacam ini, sama seperti penelitian sejarah komunitas Melanesia (1914) W.H.R. Rivers. Penelitian F. Eggan terhadap masyarakat Filipina yang mengarahkan laporannya penelitiannya pada metode perbandingan yang terarah (1954); karya W.H. Goodenough tentang Mikronesia yang memberikan dasar pada laporan miliknya yang terkenal tentang organisasi sosial Melayu-Polynesian (1958); investigasi Sahlins pada stratifikasi social di masyarakat Polynesia (1958) dan studi komparatif I. Goldman terhadap sistem status di Polynesia kuno (1970), semua penelitian tersebut telah berkontribusi terhadap studi komparatif umum terkait.

Bagian penting lainnya dari perpaduan komparatif adalah karya dari antropolog-antropolog Belanda di Indonesia. Pada tahun 1953, pada saat Dempwolf tengah mempublikasikan penelitian Austronesia-nya, antropolog Leiden, J.P.B de Josselin de Jong, mengemukakan ide penamaan untuk studi komparatif populasi Indonesia. Terinspirasi bukan oleh penelitian linguistik, melainkan studi Radcliffe-Brown “The Social Organization of Australian Tribes” (1935,1977), “The Malay Archipelago as a Filed of Ethnological Study” milik de Josselin de Jong merupakan sebuah set program penelitian yang terus berlangsung sampai sekarang.

Studi komparatif yang paling berpengaruh yang menginspirasi J.P.B. de Josselin de Jong berasal dri muridnya, F.A.E. van Wouden. Penelitian van Wouden terhadap komunitas-komunitas di Indonesia timur (1935, 1968) berusaha untuk mengidentifikasi fitur struktural tertentu dari komunitas-komunitas ini sebagai bentuk perkembangan dari bentuk organisasi social kuno sebelumnya—sebuah organisasi yang menirukan model penelitian Radcliffe-Brown untuk Australia. Antropolog kebangsaan Belanda lainnya, termasuk van Wouden, mengarahkan studi komparatif ini untuk menginformasikan penelitian ethnografi mereka tanpa harus menjalankannya dengan kaku. Perumusan ulang pada pendekatan “Ethnological Field of Study” menuntut adanya penelitian terhadap “inti struktur” bersama (P.E. de Josselin de Jong 1980, 1984), dan juga fokus pembelajaran lingusitik ini pada studi set umum kategori sosial bersama pemeliharaan berkala metafora yang sama untuk kehidupan (Fox 1980). Sebuah penekanan yang sama pada studi “historical metaphor” dan arti penting perbandingan yang dikembangkan oleh Sahlins dalam dalam penelitiannya terhadap Hawaii dan masyrakat pulau-pulau Pasifik lainnya (1981, 1985). Satu buktu yang menginspirasi cara pandang seperti ini adalah karya dari comparativist Indo-Eropa, George Dumézil.

Bagaimanapun juga, secara tegas dalam hubungannya terhadap studi masyarakat Indonesia, Fox (1980, 1988) berargumentasi bahwa untuk memelihara gagasan pada Bidang Pembelajaran Ethnologi membutuhkan sebuah pemahaman ulang atas hubungannya pada, dan sebagai bagian, dari studi komparatif bahasa Austronesia. Gagasan ini penting bagi perbandingan antara masyarakat Austronesia dan Non-Austronesia di wilayah seperti di Halmahera, dimana hubungan tersebut telah berlanjut untuk beberapa milenia (Platenkamp 1984; Bellwood 1994).

The Comparative Austronesian Project dimaksudkan untuk menyatukan semua pendekatan antropologi, arkeologi, dan linguistic untuk studi populasi penutur Austronesia dan mempopulerkan kerangka kerja umum untuk menginterpretasi warisan kebudayaan Austronesia. Disiplin keilmuan yang dipakai untuk menjelaskan warisan kebudayaan ini, temasuk didalamnya beberapa disiplin yang hanya fokus pada analisa komparatif fenomena ethnografik masa kini atau masa lampau; disiplin ilmu ini termasuk linguistik, social antropologi, genetik, dan zoogeography. Cross-cutting merupakan disiplin-disiplin ilmu lainya yang mengambil data langsung dari jejak-jejak kemanusiaan dan aktivitas manusia yang bertahan hidup dari masa lalu. Disiplin ilmu ini termasuk arkeologi, palaeoantropologi, dan sejarah literatur.

Bab ini telah disusun menjadi dua bagian, bagian pertama memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan tentang asal-muasal dan penyebaran, bagian kedua fokus kepada pertanyaan-pertanyaan tentang interaksi dan perubahan-perubahan yang dialami manusia dan masyarakat Austronesia sejak peristiwa penyebaran terjadi.

Asal-Muasal dan Penyebaran
Tiga bab awal di edisi ini meneliti bukti-bukti linguistic tentang asal-muasal dan penyebaran manusia Austronesia. Tyron memberikan tinjauan tentang keluarga bahasa Austronesia dan memeriksa bukti untuk hipotesis pencabangan kelompok Austronesia dan metodologi yang diterapkan dalam lingustik sejarah-perbandingan. Pawley dan Ross meneliti subgrup besar Oseanik dari Austronesia, yang merupakan setengah dari jumlah seluruh bahasa Austronesia merupakan anggotanya. Mereka memberikan catatan dari sejarah budaya subgrup Oseanik dan membicarakan “penyebaran” unsur-unsur pokok bahasa melalui Melanesia dan melintasi Pasifik, mempertanyakan mengapa beberapa bahasa Oseanik berubah lebih dari bahasa Austronesia lainnya. Laporan Adelaar membicarakan peran penting dari Kalimantan dalam segi asal usul dan penyebaran sesudahnya dari beberapa bahasa utama Austronesia, terutama Malagasi, sub kelompok bahasa Malayic, Tamanic dan bahasa Tanah Dayak.

Tiga bab berikutnya berhubungan dengan catatan arkeologi di masa awal pengusiran manusia Austronesia. Bellwood meneliti pertanyaan tentang wilayah asal dari manusia Austronesia di Cina Selatan dan Taiwan, berdasarkan manusia Austronesia sebagai sebuah populasi seperti banyak grup ethnolinguistik besar lainnya di wilayah garis lintang agrikultur dunia yang memulai ekspansi mereka sebagai hasil adopsi awal dunia agrikultur di dunia pemburu dan pengumpul makanan. Dia melanjutkan penelitiannya dengan mencari alasan-alasan atas kesuksesan dan luasnya akibat dari “penyebaran” (alasan yang lebih dari sekedar pengaruh dalam agrikultur) dan memunculkan beberapa ide tentang beberapa perubahan awal yang terjadi ketika koloni Austronesia pindah ke dalam susunan lingkungan dan kehidupan sosial yang baru.

Bab yang disusun Spriggs meneliti bukti arkeologis bagi pendudukan pulau-pulau Pasifik, terutama pada kebudayaan Lapita yang dimulai sejak 3500 tahun lalu dan membicarakan hubungannya dengan garis leluhur manusia Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Manusia Austronesia tentu saja bukan penduduk pertama di Pasifik Barat dan mereka tentu saja tidak menghuni tempat yang merupakan lahan kosong; beberapa hasil dari interaksi berikutnya yang sekarang menjadi sangat penting dalam setiap diskusi asal-muasal dari penduduk dunia Austronesia.

Manusia Austronesia awal sangatlah diuntungkan dengan penguasaan teknologi pelayaran yang baik. Horridge, dalam kontribusinya terhadap edisi ini, meneliti teknologi pelayaran Austronesia ini dan mengidentifikasi fitur utama dari teknologi ini. Dia menyimpulkan bahwa kapal layar Austronesia awal terdiri dari konstruksi lashed-lug of sewn planks on a hollowed-out log base dengan satu kerangka penyeimbang perahu dan layar berbentuk segitiga yang disangga pada sebuah tiang. Sifat alami dari layar ini dan cara kapal layar dikemudikan menjadikan kapal ini semacam kapal cepat bertenaga angin.

Pada bagian terakhir bagian ini tentang asal-muasal dan pengusiran, Groves mendiskusikan nenek moyang dan wilayah asli dari beberapa hewan local Austronesia (lembu, sapi, babi, dan anjing) dan juga beberapa spesies yang menjadi parasit pada mereka. Kecuali untuk lembu Bali dan (mungkin) babi, spesies yang telah disebutkan, berasal dari benua utama Asia. Pertanyaan muncul tentang kapan dan bagaimana mereka ada di masa pre-sejarah Austronesia sebelum 2.000 tahun lalu. Catatan arbeologi untuk spesies yang telah disebutkan, yang sejauh ini bukan merupakan topik utama di wilayah Asia Tenggara, diragukan akan berkontribusi banyak terhadap pengetahuan tentang persebaran manusia Austronesia.

Interaksi Bersejarah dan Perubahan
Bukti linguistik perbandingan dan arkeologi dari sejarah asli dan persebaran masyarakat penutur bahasa Astronesia sangatlah berlimpah. Dalam kesimpulan yang menyebutkan bahwa kebanyakan penelitian di bidang ilmu lainnya telah bergeser pada pertanyaan yang lebih spesifik. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan perubahan yang muncul sebagai hasil dari penyebaran manusia Austronesia—baik perkembangan internal didalam kebudayaan Austronesia, dan juga pekembangan yang merupakan hasil dari hubungan diantara kelompok-kelompok Austronesia dengan populasi dan kebudayaan lain. Baik dalam biologi, bahasa dan kebudayaan Austronesia, tidak ada satupun diantara mereka yang tetap statis selama 5.000 tahun. Merupakan perkembangan sejarah tentang hal ini yang menjadi tema dokumen pada baian kedua dari edisi ini.

Serjeantson dan Gao, dalam laporan mereka berargumentasi tentang perspektif evolusi yang dengan jelas mengenali perubahan biologis. Mereka memusatkan diri pada kekuatan evolusi yang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam susunana genetik dari populasi Oseania. Dimana Polinesia berbagi banyak fitur genetic dengan Pulau-Pulau Asia Tenggara, mereka juga mendapatkan gen mereka dari populasi Melanesia dan telah mengalami evolusi lebih lanjut; kehilangan gen tertentu dalam migrasi mereka ke wilayah Pasifik. Hasil dari proses tersebut adalah daftar genetik yang tentu saja berebeda dengan mereka yang berasal dari manusia Austronesia yang paling awal.

Laporan Searjeantson dan Gao juga menyebutkan pertanyaan kunci tentang manusia Austrionesia awal. Otto Dempwolf yang merupakan salah seorang tokoh penting dalam perkembangan linguistik perbandingan Austronesia, mengabdi untuk sekian lama sebagai dokter di German New Guinea. Pada tahun 1904, setelah mengikuti saran dari dokter kebangsaan Jerman lainnya, Danneil, Dempwolf berspekulasi bahwa malaria mungkin saja mendesak sebuah tekanan selektif yang berarti pada populasi manusia Austronesia awal, sehingga mereka mengembangkan tingkatan imunitas yang memberikan mereka keuntungan di daerah dengan tingkat penyebaran malaria yang tinggi. Dalam argumen ini, pulau dengan tingkat malaria terkecil memberikan jalur paling aman bagi persebaran manusia Austronesia. Berdasarkan penelitian berkelanjutan yang dilaporkan dalam Serjeantson dkk (1992), laporan Serjeantson dan Gao mendukung ide yang diajukan Dempwolff bahwa manusia Austronesia awal mungkin telah tiba di Melanesia untuk menemukan wilayah dengan malaria yang di dihuni oleh orang-orang yang dengan baik beradaptasi terhadap lingkungan dan oleh karena itu akan sangat bijaksana bagi mereka untuk tinggal di pulau kecil dan melanjutkan perjalanan mereka kearah timur.

Laporan oleh Bhatia, Easteal dan Kirk berdasarkan observasi yang sama dalam meneliti perbedaan susunan genetic dari masyarakat penutur Austronesia dan Non-Austronesia (atau Papua) didalam Melanesia. Berdasarkan penelitian terdahulu, Kirk telah menggolongkan tiga pola pembedaan Linguistik dan Genetik berdasarkan kombinasi allele yang unik: 1) sebuah pola Australoid yang berhubungan dengan populasi Aborigin di Australia, 2) pola proto-Papuan yang memiliki frekuensi tertinggi muncul di dataran tinggi Papua Nugini dan dibeberapa bagian Irian Jaya, dengan frekuensi lebih rendah muncul disepanjang pantai Guinea Baru dan Solomons, Kepulaua Banks dan Outliers Polinesia, dan 3) pola Austronesia yang tidak ditemukan di Australia dan jarang muncul di dataran tinggi Papua New Guinea. Frekuensi paling tinggi dari kemunculan pola ini dapat ditemukan dibeberapa area pantai utara dan timur Guinea Baru, Solomons, Kepulauan Banks, Carolines Barat dan Fiji, Bhatia, Eastel. Kirk menunjukan bahwa ketika bahasa dapat menjadi sebuah indikator dari perbedaaan genetik dalam segi geografis yang luas, di Melanesia hal ini bukan merupakan indikator pembeda yang cukup terpercaya dalam beberapa kasus tertentu.

Pesan yang ingin disampaikan Dutton mengarah pada kesimpulan yang sama. Dia meneliti beberapa tipe hubungan-induksi perubahan yang telah diteliti dalam bahasa Austronesia Melanesia dan mendiskusikan masalah yang diajukan oleh sebuah perubahan klasifikasi dari bahasa subgroup Oseanik Austronesia. Hubungan rumit antara penutur bahasa Austronesia dan Non-Austronesia, khususnya di selatan Indonesia dan Melanesia dimana kontak/hubungan semacam itu memiliki sejarah yang panjang, menimbulkan beberapa pertanyaan dasar bagi studi kebudayaan daerah.

Masa lalu mengajukan beberapa pertanyaan dan sekaligus memberikan pertanyaan. Berdasarkan pengetahuan linguistik dan arkeologi ekspansi Austronesia, kontribusi antropologi pada edisi ini mempertimbangkan berbagai macam pertanyaan berkenaan dengan struktur dan distribusi dari komunitas Austronesia kontemporer.

Fox memandang perbedaan masyarakat Austronesia dan perkembangan istilah teknik yang telah digunakan oleh para pengamat untuk menjelaskan komunitas masyarakat ini. Dihadapan bermacam-macam panggilan deskriptif ini, dia memusatkan penelitiannya pada beberapa fitur umum diantara semua masyarakat Austronesia: terkait dengan pencarian jejak dari asal usul lokal dan ketergantungan terhadap bermacam-macam varietas naratif untuk konstruksi masa lalu bersama. Demikian juga dengan berbagi sebuah perjalanan mungkin saja dapat digunakan untuk menjelaskan kedekatan dimana tuntutan terhadap sebuah hak, sering berdasarkan susunan kejadian dalam narasi tertentu, sebuah figure prominently sebagai arti dari definisi perbedaan social.

Laporan ini menganggap dua model formal dari pembedaan social diantara komunitas Austronesia, yang melibatkan sebuah proses “ekspansi lateral”, sebuah kelompok dengan rata-rata status yang sama untuk membentuk kelompok-kelompok baru dan proses “penurunan apikal” diantara bagian-bagian berbeda di masyarakat. Fox menyarankan bahwa dua sistem pembeda tergantung pada dua struktur naratif masa lalu yang berbeda untuk mendasari susunan asal-muasal mereka dan determinasi mereka terhadap sebuah hak. Demikian juga dalam system ekspansi lateral, yang Fox sebut sebagai “spasialisasi waktu” dalam narasi.

Penelitian Sather pada kasus Sama-Bajau, yang merupakan kelompok masyarakat nelayan nomadik mengandung banyak banyak pelajaran. Alih-alih menilik kaum nomadik Sama-Bajau sebagai sebuah populasi yang dapat dibedakan. Dia menganggap semua populasi penutur Sama, baik yang menetap atau yang hidup berpincah-pindah sebagai kelompok masyarakat yang saling terkait dimana bahasa mereka dapat dilacak sampai pada bentuk yang kuno. Rekonstruksi linguistik untuk Sama kuno mengindikasikan sebuah kedekatan dengan kegiatan perkebunan, pembuatan gerabah, menenun dan bahkan pengolahan baja. Walaupun sebagian besar masyarakat lebih berorientasi pada bidang kelautan, penutur bahasa sama masa kini menunjukan angkauan adaptasi dari lautan ke daratan. Kelompok-kelompok ini mencakup petani juga nelayan dan pedagang. Pada kenyataannya, diantara grup yang lebih besar ini, populasi masyarakat perahu nomadic merupakan populasi minoritas yang direpresentasikan pada adaptasi sejarah tertentu untuk memeperluas perdagangan maritim. Sather menyarankan bahwa manusia Austronesia awal seperti populasi Sama awal, memiliki bermacam-macam sistem ekonomi berdasarkan kegiatan mengumpulkan makanan dan perkebunan, berburu dan holtikultura yang mengarah pada adaptasi lokal yang berbeda.

Thomas juga mengembangkan sebuah set dari model yang saling berlawanan untuk menentukan pola-pola pertukaran di Oseania. Satu bentuk pertukaran yang melibatkan “pertukaran mana-suka” yang menekankan pada jumlah dari barang-barang yang dipertukarkan, terutama pertukaran makanan yang kompetitif diantara kelompok lokal yang sama; bentuk lain dari pertukaran yang melibatkan nilai-nilai berbeda diantara kelompok berbeda dalam suatu wilayah luas yang memiliki sistem hirearki.

Thomas menggambarkan cara kerja dari model kelompok itu baik dari segi sejarah maupun wilayah di Oseania. Laporan penutup dari edisi ini meneliti cara masyarakat Austronesia beradaptasi pada pengaruh luar, terutama pengaruh dari agama-agama dunia—yang pertama, Hindu dan Budha, kemudian agama Islam dan Kristen. Supomo melihat kontak paling awal masyarakat Indonesia dengan India dan perubahan organisasi keagamaan dan politik yang dibawa oleh pengaruh luar, terutama penyebaran karya sastra yang menyebabkan adaptasi lokal dan penggubahan karya sastra India seperti Mahabharata dan Ramayana.

Prasasti yang tertulis dalam bahasa Sansekerta membuka jalan bagi sejumlah prasasti dalam bahasa Melayu kuno selama masa Sriwijaya (akhir abad ke-7 AD) dan perkembangan prasasti-prasasti dalam bahasa Jawa kuno yang bertahan selama enam abad mulai dari 804AD. Prasasti-prasasti tersebut merupakan contoh tetua dari bahasa Austronesia. Prasasti Jawa dan karya sastra di kemudian hari, yang Supomo sebut sebagai “kuil bahasa”, menawarkan sepintas gambaran tentang kehidupan sosial yang termasuk kedalam kategori Austronesia.

Supomo menyeadari bahwa prasasti Jawa kuno merujuk pada kemunitas asli sebagai wanua (PMP*banua) dan penduduknya sebagai anak wanua. Sebuah dewan yang mengatur komunitas ini terdiri dari para tetua yang disebut rama (PAn*ama yang berarti ayah). Wanua dikelompokkan dalam sebuah kesatuan wilayah yang disebut watak dan watak ini dikepalai oleh rakai, susunan ini merupakan sebuah rancangan yang Supomo kemukakan berasal dari istilah utuk tetua atau kakek (Pan*aki). Sistem politik Jawa awal ini dikepalai oleh seorang figur yang diberi gelar ratu (PMP*datu yag berarti leluhur, ketua,tuan penguasa).

Sistem tersebut memanfaatkan sebuah idiom kekeluargaan yang berhubungan dengan Austronesia kuno dan Jawa klasik. Berdasarkan bukti yang berasal dari teks Jawa kuno, Fox telah menunjukkan sistem kekeluargaan awal masyarakat Jawa sepenuhnya merupakan susunan Austronesia dengan sedikit pengaruh Sansekerta. Tentu saja struktur semantik dari sistem kekeluargaan Jawa modern memberikan bukti dari keberlangsungan dan perkembangan system Jawa kuno (Fox 1986). Seperti yang Supomo usulkan, kita harus meneliti Bali lebih jauh daripada Jawa untuk mendapatkan contoh keberlangsungan tradisi Jawa kuno karena “kuil bahasa” yang ia katakan diadaptasi setelah kedatangan agama Islam. Sampai sekarang komunitas lokal di dataran tinggi Bali disusun dalam sebuah sistem yang disebut banua dan dipimpin oleh dewan desa (Reuter, pers.comm.1994).

Reid juga meneliti keberlangsungan dan perubahan yang muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh politik dan kepercayaan luar—kedatangan Islam dan kemudian Kristen di populasi maritim Asia Tenggara mulai abad ke-15. Populasi ini mencakup Malayu, Jawa, Chams dan Tagalog (“Luzon”) yang memiliki hubungan satu sama lain dan dengan populasi pedalaman. Agama-agama baru membawa perubahan drastis dalam identitas populasi—pakaian, pembicaraan, tingkah laku, pola makan—dan juga dalam pendewasaan moral seksual, dalam peranan ritual wanita dan hubungannya dengan hal-hal yang suci, termasuk sikap terhadap dunia roh dan mereka yang mati.

Yengoya dalam dalam laporannya meneliti bermacam-macam pengaruh dan bagaimana agama Kristen mengubah kebudayaan Pilipina dan Pasifik. Dalam perubahan masyarakat Austronesia, kombinasi antara kolonialisme barat dan Kristen memberikan sebuah konsep individualisme yang menekankan pada peranan dan kewajiban seseorang dalam semua hubungan sosial. Konsep ini terus berjalan menyebarkan pengaruhnya pada masyarakat Austronesia.

Laporan yang dipublikasikan disini dipresentasikan pada konferensi selama tiga hari yang berjudul “Manusia Austronesia dalam Sejarah: Asal-Muasal Umum dan Bermacam-Macam Perubahan”, diadakan di Coombs Lecture Theatre di Australian National University pada bulan November 1990. Konferensi ini diadakan dibawah Comparative Austronesian Project in the Research School of Pasifik Studies di ANU. Selaras dengan tujuan dari proyek tersebut, laporan ini diminta untuk memiliki skala yang lebih luas—memiliki orientasi komparatif, interdisipliner, dan sejarah. Hasil laporan ini menyediakan data bagi survey dari beberapa permasalahan penting Austronesian.

Kepustakaan
Allen, J. and P. White. 1989. The Lapita homeland: some new data and an interpretation. Journal of the Polynesian Society 98:129-146.
Bellwood, P. 1994. The archaeology of Papuan and Austronesian prehistory in the Northern Moluccas, Eastern Indonesia. Paper given at the World Archaeological Congress, New Delhi, 4-11 December.
Blust, R.A. 1984. Indonesia as a “field of linguistic study”. In P.E. de Josselin de Jong (ed.) Unity in diversity: Indonesia as a field of anthropological study, pp.21-37. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 103. Dordrecht: Foris Publications.
Dempwolff, Otto. 1904. Über aussterbende Völker. Die Eingeborenen der “Westlichen Inseln” in Deutsch-Neu-Guinea. Zeitschrift für Ethnologie 36:414.
Dempwolff, Otto. 1934-38 Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. 3 vols. Berlin: Reimer.
Eggan, Fred. 1954. Social anthropology in the method of controlled comparison. American Anthropologist 56:743-763.
Ehret, C. and M. Posnansky (eds).1982. The archaeological and linguistic reconstruction of African history. Berkeley: University of California Press.
Flannery, K.V. and J. Marcus (eds).1983. The cloud people. New York: Academic Press.
Fox, J.J. 1980. Models and metaphors: comparative research in Eastern Indonesia. In J.J. Fox (ed.) The flow of life: essays on Eastern Indonesia, pp.327-333. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Fox, J.J. 1986 The ordering of generations: change and continuity in old Javanese kinship. In D.G. Marr and A.C. Milner (eds) Southeast Asia in the 9th to 14th centuries, pp.315-326. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies and Canberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
Fox, J.J. 1988 Review of P.E. de Josselin de Jong (ed.) Unity in diversity: Indonesia as a field of anthropological study. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 144(1):178-181. Dordrecht: Foris Publications.
Goldman, I. 1970. Ancient Polynesian society. Chicago: University of Chicago Press.
Goodenough, Ward H.1955. A problem of Malayo-Polynesian social organization. American Anthropologist 57:71-83.
Houghton, P.1991. The early human biology of the Pacific: some considerations. Journal of the Polynesian Society 100:167-196.
Josselin de Jong, J.P.B. de. 1977. The Malay Archipelago as a field of ethnological study. In P.E. de Josselin de Jong (ed.) Structural anthropology in the Netherlands: a reader, pp.164-182. The Hague: Martinus Nijhoff. (Originally published in 1935 as “De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld”. Leiden: Ginsberg.)
Josselin de Jong, P.E. de. 1980. The concept of the field of ethnological study. In J.J. Fox (ed.) The flow of life: essays on Eastern Indonesia, pp.317-326. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Josselin de Jong, P.E. de. 1984 A field of anthropological study in transformation. In P.E. de Josselin de Jong (ed.) Unity in diversity: Indonesia as a field of anthropological study, pp.1-10. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 103. Dordrecht: Foris Publications.
Kirch, P.V. and R.C. Green. 1987 History, phylogeny and evolution in Polynesia. Current Anthropology 28:431-456.
Mallory, J.P. 1989 In search of the Indo-Europeans. London: Thames and Hudson.
Markey, T.L. and J.A.C. Greppin (eds).1990. When worlds collide. Ann Arbor: Karoma.
Moore, J.H. 1994. Putting anthropology back together again: the ethnogenetic critique of cladistic theory. American Anthropologist 96(4).
Morgan, Lewis Henry. 1870. Systems of consanguinity and affinity of the human family. Smithsonian Contributions to Knowledge 218. Photomechanic reprint after the edition of 1871. Washington: Smithsonian Institution.
Peoples, J.G. 1993 Political evolution in Micronesia. Ethnology 32:1-18.
Platenkamp, J.D.M. 1984. The Tobelo of Eastern Halmahera in the context of the field of anthropological study. In P.E. de Josselin de Jong (ed.) Unity in diversity: Indonesia as a field of anthropological study, pp.167-189. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 103. Dordrecht: Foris Publications.
Radcliffe-Brown, A.R. 1931. The social organization of Australian tribes. Oceania 1:34-63, 206-246, 322-341, 426-456.
Renfrew, C.1987. Archaeology and language. London: Jonathan Cape.
Rivers, W.H.R. 1914 The history of Melanesian society. Cambridge: The University Press.
Romney, A.K.1957. The genetic model and Uto-Aztecan time perspective. Davidson Journal of Anthropology 3:35-41.
Sahlins, M.D. 1958. Social stratification in Polynesia. Seattle: University of Washington Press.
Sahlins, M.D. 1981 Historical metaphors and mythical realities: structure in the early history of the Sandwich Islands kingdom. Association for the Study of Anthropology in Oceania, Special Publication No. 1. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Sahlins, M.D. 1985 Islands of history. Chicago: University of Chicago Press.
Serjeantson, S.W., P.G. Board and K.K. Bhatia
Sahlins, M.D. 1992 Population genetics in Papua New Guinea: a perspective on human evolution. In R.D. Attenborough and M.P. Alpers (eds) Human biology in Papua New Guinea: the small cosmos, pp.198-233. Oxford: Clarendon Press.
Terrell, J.1981. Linguistics and the peopling of the Pacific Islands. Journal of the Polynesian Society 90:225-258.
Terrell, J.1986 Prehistory in the Pacific Islands. Cambridge: Cambridge University Press.
Wouden, F.A.E. van. 1968. Types of social structure in Eastern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation Series 11. [Originally published in Dutch in 1935.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar