Minggu, 28 Maret 2010

TERBENTUKNYA DESA GIRIPURNO




Dahulu kala datanglah mbah Singorejo dari Singosari bersama tiga rekannya ke daerah barat Singosari, tepatnya di lereng selatan gunung Arjuno. Di daerah yang berada di sebelah timur Bumiaji itu mereka melakukan babat alas (membuka hutan) untuk dibuat ladang, sawah dan untuk pemukiman.
Salah satu rekan mbah Singorejo bernama Darimah, Beliau merupakan pepunden bagi desa Giripurno, yang kelak berdiri di kemudian hari.ama Giripurno diambil dari Giri artinya Gunung sedangkan Purno artinya lereng dari nama kerajaan Singosari “Meduran Ilang Sampurnane”.

Daerah yang baru dibuka itu, lambat laun bertambah ramai, karena banyak berdatangan penduduk yang bermukim di sana.
Mereka melakukan pertanian dengan berkelompok yang mengerjakan lahan secara terpisah-pisah. Sedangkan pemukiman pertama yang di diami Mbah Darimah adalah di sekitar dusun Krajan, tepatnya di atas sebuah bukit kecil yang dibawahnya mengalir sebuah sengai kecil yang bening. sekarang tempat itu tetap dilestarikan dengan didirikan sebuah punden dan ditandai tanaman pohon Beringin. Di tempat itu juga ditemukan uwi lajar dan tempat itu dinamakan dusun Lajar.
Sedangkan daerah persawahan untuk mencukupi kehidupan mereka terletak di sebelah Timur pemukinan di dusun Krajan yaitu yang sekarang menjadi Dusun Sawahan.
Di salah satu tempat ada sungai yang digunakan untuk memandikan ternak yaitu berupa kedung dibawah pohon besar yang akhirnya dinamakan dusun Kedung, dibagian utara sungai terdapat pohon besar yang akhirnya tempat itu dinamai dusun Sebrang Bendo, bagian timur Sabrang Bendon dan bagian selatan di dekat sungai Brantas banyak dihuni oleh penduduk asli yang tidak mau dikawini oleh penduduk pendatang, sehingga daerah tersebut oleh sesepuh kampung yaitu mbah Singorejo dan mbah Darimah diberi nama dusun Durek.
Sampai pada tahun 1938 tokoh-tokoh kampung berkumpul membuat pemerintahan desa dan mengangkat kepala kampungnya/ kepala desa yaitu Bpk. Itun yang selanjutnya mengikuti wilayah pemerintahan kecamatan Karangploso dan kabupaten Malang.

Petani Kurang Minati Sayuran Organik


Makanan Organik seperti sayur dan buah-buahan banyak dijual di supermarket.
Sayuran organik kurang dikembangkan oleh petani di Kabupaten Bantul, padahal peluang pasarnya cukup luas.

"Sangat disayangkan, peluang pasar sayuran organik yang cukup luas tidak dimanfaatkan petani di Bantul," kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Bantul Edi Suharyanto, Senin.

Ia mengatakan kesadaran petani di Bantul untuk menanam sayuran organik masih sangat terbatas. "Mereka menanam sayuran organik hanya pada musim tertentu, semestinya menanam di segala musim karena harga jualnya bisa tinggi, dan ini akan memberi keuntungan lebih banyak lagi bagi petani," katanya.

Akibatnya, kata dia, pada masa-masa tertentu stok sayuran organik di pasaran sering kosong.

Menurut Edi, pola pikir petani sayuran di Kabupaten Bantul masih terfokus hanya pada volume produksi, dan mereka belum bisa diarahkan ke orientasi bisnis. "Respon petani sayuran di kabupaten ini umumnya agak lamban, hanya petani-petani muda dan tokoh petani yang sudah bisa diarahkan ke orientasi bisnis," katanya.

Kata dia, sayuran organik mulai dikembangkan di Bantul sejak dua tahun terakhir. Sayuran jenis ini ditanam di kantung plastik atau yang biasa disebut ’polybag’.

Sekitar 13.000 polybag berisi tanaman sayuran organik tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Bantul. Dua daerah penghasil sayuran organik terbesar di kabupaten ini adalah Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu dan Desa Gilangrejo, Kecamatan Pandak.

Di Bantul, sayuran organik yang banyak ditanam adalah seledri, loncang, cabe serta terong. Sementara itu, bawang merah dan cabe merah mulai dikembangkan untuk menjadi unggulan produksi sayuran organik kabupaten ini.
Senin, 10 November 2008 | 09:21 WIB
KOMPAS/ Irwan Julianto

Mewaspadai Harga Beras Dunia Yang Mulai Merangkak Naik



Sumber Berita : Sekretariat Jenderal

Dalam laporan yang dikeluarkan FAO yang termuat dalam “FAO Rice Price Update” untuk bulan Januari 2010 terungkap bahwa berdasarkan indeks harga beras fao, menunjukkan bahwa harga beras dunia secara rata-rata untuk tahun 2009 mengalami penurunan sekitar 14,2 % dibandingkan dengan kurun waktu tahun 2008. Penurunan tertinggi dialami beras jenis Indica kualitas rendah yang mencapai penurunan sekitar 31,8 % pada kurun waktu yang sama, sementara untuk jenis beras Japonica justru sedikit mengalami kenaikan di tahun 2009 ini sebesar 8,2 %.

Walaupun demikian, jika diperhatikan secara lebih rinci dengan mendasarkan kepada harga beras bulanan khususnya dengan membandingkan antara harga beras bulan Desember dibandingkan dengan bulan Nopember tahun 2009, menunjukkan bahwa harga beras dunia mengalami peningkatan bahkan beberapa jenis beras harganya juga lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada bulan Desember tahun 2008, sebagaimana ditunjukkan untuk semua jenis beras dari Thailand dan Vietnam. Sebagai contoh harga beras Vietnam 25 % mengalami kenaikan tertingi yang mencapai 51 % lebih dibandingkan dengan harga bulan Desember tahun 2008, sementara untuk jenis beras Thai A Super kenaikannya mencapai 27 % lebih. Hanya beras jenis US California Medium Grain dan Basmati Pakistan yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga pada bulan yang sama tahun 2008.

Mencermati data ini maka perlu kiranya instansi terkait mengantisipasi kecenderung peningkatan harga beras dunia ini, khususnya dalam kajian terhadap kebijakan impor dan ekspor beras, sehingga harga beras dalam negeri tetap terjaga pada level yang rasional.

Dengan harga minyak dunia yang sekarang berkisar pada harga 70 – 80 US $/barrel, adanya perubahan iklim global, dan bencana alam yang akhir-akhir ini frekuensinya cenderung meningkat, maka bukan tidak mungkin harga beras dunia semakin mahal.

Sumber Berita: Erizal Sodikin, Atase Pertanian KBRI Roma

Mentan Gaet 9 Perusahaan Australia Investasi Pembibitan Sapi di Indonesia














Sumber Berita : Staf Ahli/Tenaga Ahli

DARWIN – Kunjungan kerja Mentan Suswono ke Darwin, Australia selama tiga hari membuahkan hasil. Sembilan perusahaan peternakan Australia telah menyatakan kesiapannya untuk berinvestasi dalam usaha pembibitan sapi di Indonesia. ‘’Mereka siap mendukung program swasembada daging sapi pemerintah Indonesia,’’ kata Mentan di Darwin, Sabbtu (27/3).



Mentan menjelaskan, enam perusahaan telah menandatangani MOU kerjasama B to B pada Jumat (26/03) bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Asosiasi Peternakan Northern Territory (NTCA) 2010 di Darwin, Australia. Kesepakatan ditandatangani setelah peserta NTCA 2010 mendengar presentasi promosi investasi dari tiga gubernur: Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atufuri, Gubernur NTT Frans Lebu Raya, dan Wagub NTB Badrul Munir.



Mentan Suswono menyambut baik kerjasama bisnis antara GAPSI (Gabungan Pembibitan Sapi Indonesia) dengan sejumlah perusahaan peternakan Australia tersebut. Kesiapan perusahaan Australia untuk investasi dalam pembibitan sapi di Indonesia, kata Mentan, merupakan awal yang baik. ‘’Khususnya dalam mendukung program swasembada daging sapi pada 2014.’’



Enam perusahaan Australia yang menandatangani MOU dengan GAPSI adalah North Australian Cattle Company, Wellard Exports, South East Asia Livestock, Consolidated Pastoral Company, Austrex, dan Landmark Global. Di luar enam perusahaan, menurut Ketua GAPSI Adikelana Adiwoso, masih banyak perusahaan lainnya yang menyatakan berminat. ‘’Sedikitnya tiga perusahaan lagi sudah ingin gabung pada hari kedua konferensi,’’ katanya. GAPSI sendiri dalam proyek pembibitan itu melibatkan setidaknya enam perusahaan nasional, yaitu: PT Santosa Agrindo, PT Agro Giri Perkasa, PT Lembu Jantan Perkasa, PT Kadila Lestari Jaya, PT Widodo Makmur, dan PT Bedikari United Livestock Indonesia.



Dalam forum NTCA 2010, Mentan menegaskan Indonesia serius untuk menjalankan program dan kebijakan swasembada daging sapi. Selama ini, Indonesia adalah pasar besar dari sapi Australia. Jika Anda tidak ingin kehilangan pasar, investasilah mulai sekarang. ‘’Bantu dan dukung kami mencapai swasembada.’’ Mentan mengajak lebih banyak lagi perusahan untuk investasi di Indonesia. ‘’Enam perusahaan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan bibit sapi di Indonesia.’’



Usai menghadiri forum NTCA, Mentan melakukan serangkaian pertemuan bilateral G to G dengan pemerintah Australia di Parlianment House Darwin. Mula-mula dengan Mentan Northern Territory Kon Vatskalis, Menteri Bisnis dan Urusan Asia Rob Knight, dan Menteri Pertanian Federal Tony Burke. Ikut hadir mendampingi Mentan RI dalam pertemuan itu antara lain Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anna Mu;awanah, Dirjen Peternakan Kementan, Gubernur Papua Barat, Gubernur NTT, Wagub NTB, Tenaga Ahli Mentan, Kepala Biro Kerjasama Luarnegeri Kementan, Kepala Bapeda NTB, dan Kapus Karantina Peternakan Kementan.



Dalam pertemuan itu pihak Australia mengakui pentingnya Indonesia bagi ekonomi Australia, khususnya sektor peternakan. Mereka berharap, Australia masih bisa berperan penting dalam mencukupi kebutuhan daging sapi meski Indonesia telah bertekad untuk swasembada daging sapi. Mereka juga menyatakan siap mendukung program swasembada dengan harapan Indonesia tidak menutup atau membatasi impor sapi dari Australia.



Mentan Suswono menegaskan, Australia adalah tetangga terdekat. Untuk menutupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun, tentu masih perlu impor. Selama tidak mendistorsi atau merusak harga sapi dalam negeri, impor sapi masih diperlukan sesuai kebutuhan. Pembatasan dilakukan ketika terjadi oversupplay. Ketika swasembada tercapai pada 2014, impor sapi masih diperlukan sampai sekitar 10%.

Pertemuan tingkat menteri menyepakati dibentuk kelompok kerja yang akan merumuskan dan menindaklanjuti segala bentuk kerjama, forum-forum teknis yang bersifat G to G maupun B to B akan segera dibentuk untuk melakukan pembicaraan dan evaluasi secara periodik.



Selama kunjungan kerja ke Darwin, Mentan banyak ditanya wartawan soal kebijakan pembatasan impor sapi dari Australia. Sejumlah wartawan Australia juga bertanya, apakah Indonesia tidak khawatir jika Australia mengalihkan pasar dan menghentikan ekspor sapi ke Indonesia? Dengan tegas, Mentan menjawab: tidak sama sekali. Sumber atau pemasok daging sapi di dunia ini banyak. Australia dan Selandia hanya bagian dari sekian banyak produsen sapi. Mentan menegaskan, jika Australia tidak mendukung program swasembada daging sapi Indonesia melalui investasi pembibitan di dalam negeri, jangan salahkan Indonesia kita mengajak mitra negara lain. ‘’Saya yakin, Australia tidak akan main-main dan tidak mau kehilangan pasar besarnya begitu saja dari Indonesia.’’

Dalam kunkernya, Mentan dan delegasi RI sempat berkunjung ke sentra peternakan sapi di Tipperary Livestock Station, pusat karantina peternakan sapi NT, dan Ford Private Museum di Winnellie, Darwin.

Pertanian Organik, Ataukah Pertanian Berkelanjutan

Pertanian Organik, Ataukah Pertanian Berkelanjutan
Sumber : Dr. Ir. Yul Harry Bahar

Prof. Dr. F.G. Winarno mengilustrasikan dalam harian Kompas 15 Maret 2004, bahwa konsumen luar negeri, khususnya di negara maju, seperti Eropa, Jepang dan Amerika sangat tertarik akan pangan organik karena motivasi kesehatan, produknya lebih segar, rasanya enak, bagus teksturnya dan memiliki sifat spesifik yang dapat memberikan kepuasan serta kenikmatan tersendiri. Namun hambatan pemasaran pangan organik karena harganya yang tinggi, adanya persepsi masyarakat tentang pangan organik mempunyai penampakan kurang menarik dan tidak segar, bahkan bila ada pangan organik dengan penampilan menarik dan keadaan segar justru muncul kecurigaan akan keaslian pangan organik yang berlabel organik.

Lalu apa yang dicari dalam pertanian organik, dan produk pangan organik macam apa yang akan dipercaya konsumen. Di tengah masih banyak pertanyaan akan pangan organik, seperti pengaruhnya terhadap perbaikan kesehatan dan penyembuhan penyakit, korelasi positif antara metode pertanian yang diterapkan dengan peningkatan mutu gizi pangan yang dihasilkan, maka sebaiknya kita konsisten saja menerapkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development), atau pembangunan pertanian berkelanjutan.

Mengapa ?. Tidak lain karena perhatian masyarakat tani akan pangan organik di Indonesia masih kecil, karena pangsa pasarnya relatif kecil (sekitar 3 persen saja), terbatas pada kalangan menengah ke atas di daerah perkotaan. Dengan demikian pangsa pasarnya cenderung cepat jenuh, bila produksinya melebihi permintaan, maka harga akan turun drastis. Di negara maju sendiri produk pertanian organik hanya 3-4 persen dari pangsa pasar yang ada, dan terbatas pada konsumen tertentu, sehingga terlalu kecil bila dijadikan target pemasaran ekspor. Di negara kita, pertanian organik masih kesulitan dalam memasarkan produk untuk mendapatkan harga yang layak (meskipun dalam beberapa kasus cukup berhasil), umumnya produk pangan organik dihargai sama dengan produk pertanian biasa.

Agaknya terlalu riskan untuk mengarahkan petani menerapkan pertanian organik, kalau tidak mampu memberikan jaminan dan bukti nyata terhadap peningkatan harga dan pendapatan petani dengan korbanan besar yang harus mereka berikan dalam menerapkan usahatani organik tersebut. Dewasa ini produksi pertanian Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan pasar domestik, dimana belum ada perbedaan tegas dari selera konsumen maupun harga antara produk pertanian organik dan non organik. Kenyataan bahwa penerapan teknologi, jumlah unit usahatani dan jumlah produk organik masih terbatas, dan bila diterapkan secara luas aturan dan prosedurnya terlalu rumit bila diterapkan ditingkat petani, serta tingkat produktivitas rendah.


Mengapa Pertanian Berkelanjutan ?.

Pembangunan berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian masyarakat dunia, bagitu juga halnya di bidang pertanian. Masalah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1987 dalam sidang WCED, pada waktu itu Mrs. G.H. Bruntland (Perdana Menteri Swedia) menyampaikan laporan dengan judul Our Common Future (hari depan kita bersama). Dalam laporan inilah disebutkan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang pertanian diterapkan dengan pendektan pembangunan pertanian berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam penerapannya sudah termasuk aspek pertanian organik.
Masalah pembangunan berkelanjutan telah diterima sebagai agenda politik oleh semua negara di dunia (sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de Jeneiro, 1992). Ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang dapat dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan, dan masalah ini hanya akan didapat bila terbangun kemitraan yang baik dengan mengikutsertakan pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Disaming itu perlu keseimbangan dalam menangani atau melaksanakan pembangunan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan.

Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang dikenal sebagai Pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On Sustainable Development), telah menghasilkan Deklarasi Johanensberg, antara lain menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak. Kelimpahan keanekaragaman yang dimiliki dapat dikembangkan sebagai kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dalam pembangunan berkelanjutan. Masyarakat global telah diberkati dengan berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah penting untuk menjamin keberlanjutan dan ketersediaan sumberdaya alam tersebut.

Penerapan pertanian organik merupakan salah satu dari pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan, karena itu pengembangan pertanian organik tidak terlepas dari program pembangunan pertanian secara keseluruhan. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan bukan berarti penggunaan bahan kimiawi pertanian (agrochemical) tidak diperbolehkan sama sekali, namun sampai batas tertentu masih dimungkinkan. Hal ini juga dipakai dalam penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) selama ini. Masalah pembangunan pertanian berkelanjutan telah diintegrasikan dalam program pembangunan pertanian yang diterapkan dewasa ini. Dalam Grand Strategi Pembangunan Pertanian disebutkan bahwa pembangunan pertanian hasus dilakukan secara berkelanjutan, dengan memadukan antara aspek organisasi, kelembagaan, ekonomi, teknologi dan ekologis. Pembangunan agribisnis dilakukan dengan memberdayakan dan melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati, pengembangan produksi dengan tetap menjaga pelestarian dan konservasi sumberdaya alam (hutan, tanah dan air), menumbuh kembangkan kelembagaan lokal dan melegalkan hal ulayat masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam bagi kegiatan pertanian (communal resources management), serta dengan meningkatkan nilai tambah dan manfaat hasil pertanian.


Perinsip Pembangunanan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan menerapkan pertanian organik. Pertanian organik diartikan sebagai praktek pertanian secara alami tanpa upupk buatan dan sedikit mungkin melakukan pengolahan tanah. Bila kita sepenuhnya mengacu kepada terminologi (pertanian organik natural) ini tentunya sangatlah sulit bagi petani kita untuk menerpkannya, oleh karena itu pilihan yang dilakukan adalah melakukan pertanian organik regenaratif, yaitu pertanian dengan perinsip pertanian disertai dengan pengembalian ke alam masukan-masukan yang berasal dari bahan organik.

Pengelolaan agribisnis hortikultura berwawasan lingkungan dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang. Pemilihan komoditas dan areal usaha yang cocok merupakan kunci dalam pelaksanaan pembangunan pertanian berkelanjutan, komoditas hasrus yang menbguntungkan secara ekonomis, masyarakat sudah terbiasa membudidayakannya, dan dibudidayakan pada lahan yang tidak bermasalah dari segi teknis, ekologis dan menguntungkan secara ekonomis. Beberapa perinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah;


1. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam.
2. Proses produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat.
3. Penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah)
4. Produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar merupakan acuan dalam agribisnis hortikultura ini.






Peranam masyarakat lokal sangat penting dlam menerapkan pembangunan berkelanjutan, karena itu kearifan lokal yang telah dimiliki oleh nenek dan kakek moyang kita dalam melakukan kegiatan usahatani perlu dipelajari dan diterapkan kembali. Disamping itu Kelembagaan masyarakat yang telah mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat merupakan potensi besar untuk dikembangkan menjadi lembaga agribisnis, karena pimpinan/tokoh dari lembaga ini telah terbiasa dan mengerti tentang keadaan sumbedaya di daerah tersebut dan beradaptasi dengan kondisi setempat, serta mampu mengelola secara baik dan mandiri (Communal Resources Management).

Perlu upaya khusus dalam merubah paradigma berfirkir petani dari pendekatan pertanian untuk meningkatkan produksi menajadi pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis (usaha dan keungungan), serta pertanian berkelanjutan (sustainable development). Memperhatikan kelestarian sumberaya alam dan menjaga keanekaragaman flora dan fauna, sehingga siklus-siklus ekologis dapar berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya.

PERBAIKAN PEDOMAN STATISTIK DAN SURVEI PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA

PERBAIKAN PEDOMAN STATISTIK DAN SURVEI PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA


PENDAHULUAN

Data dan informasi sangat penting untuk melihat perkembangan dan keberhasilan pelaksanaan program, bahan evaluasi dan pelaporan, bahan pertimbangan untuk perumusan perencanaan dan kebijakan, serta sebagai dasar untuk menghitung capaian kinerja suatu program. Kualitas data hortikultura secara tidak langsung akan mempengaruhi sub sektor hortikultura, hal ini disebabkan data dan informasi merupakan aspek yang sangat penting dalam perumusan perencanaan dan evaluasi hasil kegiatan pengembangan agribisnis hortikultura. Mengingat pentingnya data dan informasi, maka perhatian terhadap pengelolaan data harus dilakukan secara baik, sehingga kualitas data dapat ditingkatkan dalam arti valid, akurat dan up to date.

Sampai saat ini data produktivitas hortikultura masih dihitung berdasarkan data luas panen dan produksi hortikultura yang dilaporkan oleh petugas kecamatan melalui formulir SP (Survei Pertanian), dengan metode wawancara atau eye estimate. Cara ini diakui memang belum optimal, keakurasiannya sangat tergantung pada pengalaman dan keahlian petugas, dan cenderung bias. Untuk memperoleh data produktivitas hortikultura yang sesuai dengan kondisi riil di lapangan khususnya untuk komoditas unggulan nasional, diperlukan pengumpulan data produktivitas (ubinan).

Pedoman pengumpulan data tanaman pangan dan hortikultura yang dibuat tahun 1999 dan disempurnakan tahun 2002, sekarang perlu disempurnakan lagi dan sudah saatnya untuk dipisahkan dengan pedoman pengumpulan data tanaman pangan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan :

a Struktur organisasi Ditjen Hortikultura telah terpisah dari Ditjen Tanaman Pangan mulai tahun 2000, dan masing-masing mempunyai unit kerja yang menangani Data dan Informasi

b Pada Badan Pusat Statistik, secara organisasi statistik hortikultura telah terpisah dengan statistik tanaman pangan yaitu dengan adanya Subdit Statistik Tanaman Pangan dan Subdit Statistik Hortikultura.

c Pada PUSDATIN, unit kerja yang menangani data hortikultura sudah terpisah dengan data tanaman pangan yaitu dengan adanya Sub Bidang Data Hortikultura dan Perkebunan dan Sub Bidang Data Tanaman Pangan dan Peternakan.

Dengan pemisahan akan lebih memudahkan dalam pengelolaan, penyempurnaan dan perubahan, disamping dengan metode pengukuran produktivitas yang lebih baik maka hasilnya akan lebih akurat. Sehubungan dengan itu maka Ditjen Hortikultura telah melakukan pembahasan metodologi pengumpulan data produktivitas hortikultura dan penyempurnaan pedoman pengumpulan data statistik hortikultura.

PELAKSANAAN

Pertemuan pembahasan metodologi pengumpulan data produktivitas hortikultura dan penyempurnaan pedoman pengumpulan data statistik hortikultura, dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 4 Mei 2007 bertempat di Hotel Permata Alam Cisarua Bogor. Tujuan dari pertemuan ini adalah : (1) menyempurnakan metodologi pengumpulan data produktivitas (ubinan) yang telah dimulai sejak tahun-tahun sebelumnya baik oleh BPS maupun PUSDATIN, (2) agar penanganan pengumpulan data hortikultura lebih fokus dan mendapat perhatian yang lebih baik. Hadir pada pertemuan tersebut Ketua Jurusan Statistik IPB (Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.Si), Kasubdit Statistik Hortikultura BPS bersama staf, Kabid Data Hortikultura dan Perkebunan PUSDATIN beserta staf, Pejabat/Staf Koordinator Data lingkup Direktorat Jenderal Hortikultura. Pertemuan telah dibuka secara resmi oleh Sekditjen Hortikultura. dengan memberikan arahan dan saran bagi penyempurnaan metode maupun cakupan data.

PUSDATIN menindaklanjuti pertemuan pada tanggal 21 Mei 2007 bertempat di PUSDATIN, dalam rangka mengkoordinasikan pertemuan antara Ditjen Hortikultura, Ditjen Tanaman Pangan dan BPS untuk menfinalkan penyempurnaan pedoman. Hadir pada pertemuan tersebut Direktur Statistik BPS bersama staf, Kabid Data lingkup PUSDATIN beserta staf, wakil dari Ditjen Hortikultura dan Ditjen Tanaman Pangan



HASIL PERTEMUAN :

1. Penyajian metodologi pengumpulan data produktivitas baik oleh PUSDATIN maupun BPS masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu PUSDATIN dan BPS akan menyempurnakan metodologi dimaksud berdasarkan masukan dan saran dari Ketua Jurusan Statistik IPB, maupun dari peserta pertemuan, selanjutnya baru diaplikasikan pada survei lapangan.

2. Dari hasil pembahasan penyempurnaan pedoman pengumpulan data hortikultura terjadi perubahan nama formulir dari Survei Pertanian (SP) menjadi Statistik Pertanian Hortikultura (SPH). Terhadap formulir komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka dilakukan perubahan/penyempurnaan dalam nama format, informasi yang dicatat, bentuk format (kolom), cakupan komoditas, dan lain-lain.

3. Formulir SP IV (Laporan Luas Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan/OPT) yang semula dilaporkan setiap bulan menjadi tidak ada, baik pada Ditjen Hortikultura maupun Ditjen Tanaman Pangan, dengan pertimbangan bahwa pengumpulan data OPT telah ditampung dalam SIM Perlindungan dan secara rutin telah disampaikan ke Direktorat Perlindungan. Namun demikian KCD/Mantri Tani tetap melaporkan data puso pada setiap laporan SP-Tanaman Pangan maupun SP-Hortikultura.

4. Formulir SP VB (untuk pengumpulan data alsintan) khusus untuk Ditjen Hortikultura data yang dilaporkan adalah peralatan pasca panen mengingat peralatan pasca panen komoditas hortikultura sangat spesifik dan berbeda dengan komoditas tanaman pangan dengan nama SPH-ALSIN. Sedangkan laporan data untuk peralatan pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, pemberantasan OPT dan pengairan ditampung pada SP- Alsintan Tanaman Pangan mengingat peralatan tersebut bisa digunakan baik untuk komoditas tanaman pangan maupun komoditas hortikultura, sehingga pada daftar yang harus diisi oleh KCD/Mantri Tani disediakan dua kolom (kolom untuk tanaman pangan dan kolom untuk non tanaman pangan).

5. Formulir SP VC (Laporan Perbenihan), menjadi SPH-BN (Statistik Pertanian Hortikultura Perbenihan). Pada SPH-BN ini akan dilaporkan setiap tahun mengenai jumlah penangkar/produsen benih, jumlah perdagangan benih dan jumlah penggunaan benih. Cakupan komoditi yang masuk dalam SPH-BN meliputi; tanaman sayuran (13 komoditas), tanaman buah-buahan (13 komoditas), tanaman hias (7 komoditas) dan tanaman biofarmaka (7 komoditas).

6. Formulir Statistik Pertanian Hortikultura (SPH) yang baru untuk masing-masing kelompok komoditas dan aspek yang mengalami perubahan dapat dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 1 : Formulir Statistik Pertanian Hortikultura

No


Formulir Lama


Formulir Baru


Komoditas/Aspek/ Frekuensi

1.


SP IIA


SPH-SBS


Laporan Tan. Sayuran dan Buah-buahan Semusim (Bulanan)

2.


SP IIIA


SPH-BST


Laporan Tan. Buah-buahan dan Sayuran Tahunan (Triwulan)

3.


SP IIB


SPH-TBF


Laporan Tanaman Biofarmaka (Triwulan)

4.


SP IIIB


SPH-TH


Laporan Tanaman Hias (Triwulan)

5.


SP VB


SPH-ALSIN


Laporan Alat dan Mesin Pertanian Hortikultura (Tahunan)

6.


SP VC


SPH- BN


Laporan Perbenihan Hortikultura (Tahunan)

7. Cakupan komoditas data yang dikumpulkan oleh petugas (Mantri Tani/KCD maupun PPL) melalui formulir SPH meningkat dari semula 71 komoditas menjadi 90 komoditas, dengan peningkatan terbesar pada tanaman hias (12 komoditas) Sedangkan tambahan untuk tanaman sayuran (2 komoditas), tambahan untuk tanaman buah-buahan (3 komoditas), tambahan untuk tanaman biofarmaka (2 komoditas). Cakupan komoditas dalam Statistik Hortikultura dapat dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 3 : Cakupan komoditas dalam Statistik Pertanian Hortikultura

No


Komoditas


Lama


Baru


Tambahan

1.


Sayuran


23


25


2

2.


Buah-buahan


23


26


3

3.


Tanaman Hias


12


24


12

4.


Tanaman Biofarmaka


13


15


2




Jumlah


71


90


19

8. Ditjen Hortikultura akan menyempurnakan lagi untuk konsep dan definisi dalam pedoman statistik hortikultura ini sedangkan BPS untuk pengolahan data.

9. Legalitas buku pedoman yang baru akan dibuat dalam bentuk SKB (Surat Keputusan Bersama) antara BPS dan Ditjen Hortikultura (untuk buku pedoman SP-Hortikultura) dan antara BPS dan Ditjen Tanaman Pangan (untuk buku pedoman SP-Tanaman Pangan), SKB ini akan dilampirkan pada buku pedoman yang baru Disamping itu dalam buku pedoman juga memuat pengantar dari Kepala BPS dan sambutan dari Direktur Jenderal.

10. Buku pedoman yang baru akan digunakan untuk pengumpulan data hortikultura mulai tahun 2008 dan sekaligus juga dilakukan perbaikan e-form. Dengan demikian data ini baru dapat disajikan pada ASEM dan ATAP 2008 di Tahun 2009.



TINDAK LANJUT

1 Dengan adanya penambahan komoditas hortikultura yang dilaporkan melalui Formulir SPH, maka terjadi penambahan formulir register untuk Mantri Tani/KCD, formulir register tersebut harus dicetak bersamaan dengan formulir SP, namun demikian BPS belum menyediakan anggaran untuk pencetakan register tersebut sehingga dibebankan kepada Ditjen Hortikultura untuk menampung biaya pencetakan tersebut sebesar Rp. 50 juta. Direncanakan pembiayaan ini akan ditampung pada anggaran tambahan tahun 2007 atau anggaran tahun 2008.

2 Dengan berkembangnya jumlah kecamatan maka pencetakan kuesioner oleh BPS dirasa masih kurang, untuk itu disarankan agar ditampung pada dana dekonsentrasi setiap daerah baik yang bersumber dari Ditjen Hortikultura maupun Ditjen Tanaman Pangan.

3 Perkiraan kebutuhan buku pedoman yang baru kurang lebih sebanyak 12.000.000 buku, dana pencetakan buku pedoman yang ada pada Ditjen Hortikultura hanya 4.000 buku, sehingga kekurangannya sebanyak 8.000 buku akan dianggarkan pada tahun 2008 (Ditjen Hortikultura sebanyak 4.000 buku dan PUSDATIN sebanyak 4.000 buku).

4 Sosialisasi buku pedoman yang baru akan dilaksanakan pada saat kegiatan refresing ke 16 propinsi lokasi progam P2BN, dengan penekanan materi ubinan komoditas padi, dan disisipkan sosialisasi penyempurnaan buku pedoman hortikultura, dengan agenda yang terlebih dahulu dikomunikasikan dengan Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Tanaman Pangan. Dalam kegiatan refresing Ditjen Hortikultura akan berpartisipasi dalam pelaksanaan maupun monitoring.



INSTANSI TERKAIT

1. PUSDATIN, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian

2. Badan Pusat Statistik

3. Ditjen Tanaman Pangan

4. Dinas Pertanian Propinsi, Kabupaten/Kota

5. Mantri Tani/Mantri Statistik

Sambutan Menteri Pertanian Pada forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian


Sambutan Menteri Pertanian

Pada forum Komunikasi Statistik dan

Sistem Informasi Pertanian

di Hotel Sahir Raya Bali

Denpasar, 31 Mei - 2 Juni 2006


Assalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yang terhormat:

1. Saudara Gubernur Bali,

2. Saudara-Saudara Pejabat Eselon I lingkup Departemen Pertanian,

3. Saudara Drs. Made Urif, Anggota Komisi IV DPR-RI,

4. Saudara Kepala Badan Pusat statistik (BPS),

5. Saudara-Saudara Pejabat Eselon II lingkup Departemen Pertanian dan BPS

6. Saudara-Saudara Kepala Dinas lingkup Pertanian Provinsi seluruh INdonesai,

7. Saudara-Saudara Kepala Dinas lingkup Pertanian Kabupaten di Provinsi Bali,

8. Para undangnan Forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian,


Pertama-tama marilah kita panjatan puji syukur ke hadirat allah SWT, bahwa kita pada malam ini dapat berkumpul bersama pada acara forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian tahun 2006 di Hotel Sahid Raya Bali, dalam keadan sehat wal'afiat, senantiasa dalam perlindungan dan rahmatNya sehingga memungkinkan terselenggaranya Forum ini.

Atas nama pimpinan Departemen Pertaniann, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada panitia, para peserta Forum dan para narasumber atas kerjasamanya dan terselenggaranya Form Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian tahun 2006 yang dilaksanakan mulai hari ini sampai dengana lusa. Saya berharap pada forum ini peserta dapat saling bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka koordinasi, singkronisasi dan integrasi kegiatan penyelenggaraan statistik dan sistem informasi pertanian tahun 2006 dan 2007, sehingga upaya kita untuk meningkatkan kualitas data dan sistem informasi pertanian dalam ranaka mendukung penyusunan kebijakan pembangunan pertanian dapat terus dilakukan.

Saudara-Saudara yang saya hormati,

Menyadari pentingnya peranan data dan informasi pertanian sebagai unsur yang strategis dalam pencapaian visi dan misi pembangunan Pertanian, maka dipandang perlu agar pengelolaan data dan informasi pertanian disinkronkan dan diintegrasikan mulai dari tingkat Kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat. Mekanisme pengumpulan data secara berjenjang mulai dari pengumpulan data di kecamatan dikirim ke kabupaten selanjutnya diteruskan ke provinsi dan pusat, agar secara reguler dievaluasi dan diperbaiki sehingga kualitas data pertanian dari waktu ke waktu dapat ditingkatkan.

Kenyataan yang terjadi pada masa transisi saat ini, para pengelola data daan informasi pertanian masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. aliran data belum lancar seperti yang diharapkan. Masih terdapat berbagai kendala dalam menyampaikan laporan berkala ke provinsi yang menyebabkan penyampaian data sering terlambat. Akibatnya agregasi data pertanian tidak dapat dikompilasi di tingkat pusat secara tepat waktu. Hal ini dapat menimbulkan hambatan dalam proses perencanan dan perumusan kebijakan pembangunan pertanian. Kendala dan permasalahan dimaksud antara lain adalah : (1) masih lemahnya metodologi pengumpulan data untuk masing-masing sub sektor, (2) lemahnya kelembagaan penyelenggara statistik pertanian di daerah, (3) belum memadainya sarana pengumpulan, pengolahan dan diseminasi data & informasi pertanian, (4) masih rendahnya kualitas sumberdaya ,(5) rendahnya alokasi dana untuk kegiatan statistik dan sistem informasi pertanian serta terbatasnya insentif bagi petugas pengumpul data masing-masing sub sektor.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Untuk mengatasi kendala atau hambatan dalam pengelolaan data dan sistem informasi pertanian tersebut, Departemen Pertanian telah melakukan berbagai upaya ntara lain melakukan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPTP), LAPAN serta Dinas lingkup Pertanian. Dengana berbagai instansi tersebut telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan metodologi pengumpulan data tanaman pangan dan hortikultura dengan memanfaatkan teknologi komunikasi data citra satelit. Sedanagkan untuk komoditi peternakan telah dilakukan pengembnagan metode pemotongan hewan di pasar melalaui pencacahan lengkap. Perbaikan dan penyempurnaan metodologi pengumpulan data perebunan telah dilakukan kerjasma dengan BPS dan Dinas Perkebunan untuk melakukan estimasi data produktivitas komoditi perkebunan rakyat.

Berbagai peralatan yang diperlukan oleh petugas pengumpul data juga telah dilengkapi seperti alat ubinan, timbngan, alat pengukur kadar air, dan kalkulator. Disamping itu, guna memberikan apresiasi dan motivasi berprestasi kepada para petugas dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sehubungan dengan pengumpulan data pertanian diberikan insentif secara berkala disamping pelatihan statistik atau refresing tentang metode pengumpulan, pengolahan dan penyajian data pertanian.

Dari sisi dukungan anggaran telah pula dialokasikan data untuk perbaiakan dan penyempurnaan metodologi pengumpulan data pertanian termasuk pengkatan kualitas petugas pengumpul dan pengolah data di tingkat kabupaten, propinsi dan mantri tani selaku ujung tombak pengumpul data di tingkat kecamatan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah dilatih 5.800 mantri tani/KCD dan mantri statistik/KSK tentang pengumpulan dan pengolahan data/statistik ditingkat kecamatan.

Pada kegiatan lainnya, melalui proyek pengembnagna sistem "Land Use Data Management (LUDM)" telah dibangun basis data penggunaan lahan pertanian, sistem entri dan pelaporan data terpadu menggunakan formulir elektronik (e-Form) berbasis web menggunakan fasilitas internet. Kegiatan ini diharapkan akan memperkuat dalam kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data dan informasi pertanian di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat. Fasilitas tersebut diharapkan dapat dimanfatkan sebaik-baiknya oleh seluruh jajaran Departemen Pertanian, Dinas terkait di daerah dan para pengguna data lainnya seperti petani, kelompok tani serta masyarakat luas lainnya.

Saudara-Saudara sekalian yang berbahagia,

Tidak kalah pentingnya teknologi informasi dalam bidang pertanian. sistem Informasi Pertanian, yang terus dikembangkan oleh Departemen Pertanian harus mampu mendukung keutuhan informasi bagi pemerintah, petani/swasta dan pelaku usahatani lainnya dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh.

Bagi petani, informasi yang disampaikan harus mampu membimbing kapan sebaiknya petani menanam, dan dalam kondisi mana sebiknya petani mulai melaksanakan pemupukannya. Petani juga sangat memerlukan informasi di mana mereka bisa memperoleh sarana produksi dan dengan harga berapa, serta kemana mereka harus menjual produksinya dan dengan harga berapa, Para pelaku usahatani juga sangat memerlukan informasi daerah-daerah yang akan panen dan dalam jumlah berapa, daerah-daerah mana yang kurang stock dan daerah-daerah mana yang kelebihan stock, Dengan cara aini para petani ataupun pelaku usahatani mempunyai banyak pilihan dan pertimbangan sebelum membuat suatu keputusan menjaul ataupun membeli. Dengan demikian, maka pengembngan sistem usahatani mutlak memerlukan informasi yang sangat cepat, akurat dan dinamis.

Melihat potensi telpon seluler yang pertumbuhannya sangat tinggi, diamana pengguna telpon seluler jauh melebihi pengguna internet yang lambt laut pasti akan mencapai daerah pedesaan, saya berkeyakinann bahwa sarana ini punya potensi yang besar untuk dijadikan sebagai sarana komunikasi data dan informasi pertanian. Bagi petani ataupun usahatani, telpon seluler ini dapat digunakan untuk mengakses berbagai informasi agribisnis seperti harga komoditi dan harga-harga sarana produksi dari pasar-pasar yang ada di kota-kota besar di seluruh Indonesia.




Bagi masyarakat yang ingin menyampaikan permasalahan atau berkonsultasi tentang seluk beluk pertanian dapat memanfaatkan fasilitas SMS dan mengirimkan hal tersebut melalui Nomor SMS Center Departemen Pertanian adalah 0813 8 303 4444, demikian pula halnya para petugas pelayanan informasi pasar yang ada di dinas-dinas pertanian dapat menyampaikan atau mengirim data/informasi pertanian seperti harga komoditi, luas tanam, luas panen, dan lain-lain langsung ke dalam server komputer di pusat melalui SMS Center Deptan.

Untuk melakukan evaluasi hasil pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun untuk keperluan perencanaan pembangunan pertanian, diperlukan berbagai jenis data untuk keempat sub-sektor terutama data produksi, produktivitas serta harga. Khusus yang berkaitan dengan usaha peningkatan pendapatan dan taraf hidup rumah tangga pertanian, diperlukan data mengenai pendapatan/penerimaan rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian, penguasaan dan penggunaan lahan dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga pertanian.

Dalam rangka menyusun perencanaan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan petani, diperlukan adanya kegiatan untuk membangun basisdata profil rumah tangga pertanian yang rinci, khususnya yang berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi rumah tangga pertanian, tingkat pendapatan beserta strukturnya tidak saja di tingkat kabupaten dan propinsi tetapi juga di tingkat kecamatan. Untuk data pendukung saya mengharapkan agar juga dilengkapi dengan data kelembagaan dan data infrastruktur yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Para peserta Forum yang saya hormati,

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas pada kesempatan ini saya ingin menghimbau hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu adanya pembagian kewenangan dan tugas serta kerjasama yang lebih erat dalam penyelenggaraan statistik dan sistem informasi pertanian antara berbagai institusi baik di pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota.

2. Dalam rangka pemberdayaan dan penguatan kelembagaan unit data dan sistem informasi pertanian, diperlukan adanya dukungan baik dari pimpinan eksekutif, seperti para Gubernur, para Bupati/Walikota, para Kepala Dinas lingkup Pertanian maupun legislatif, terhadap keberlangsungan kelembagaan unit data dan sistem informasi tersebut di jajaran unit instansi daerah baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat Propinsi.

3. Guna memujudkan keterpaduan sistem jaringan pengelolaan data ditingkat pusat dan daerah, kiranya dapat dialokasikan anggaran yang cukup memadai untuk kegiatan perstatistikan dan sistem informasi melalui dana dekonsentrasi maupun APBD I dan APBD II, termasuk anggaran untuk tambahan insentif bagi para petugas pengumpul data di tingkat kecamatan, kabupaten/kotamadya dan propinsi secara berkala dan berkelanjutan;

4. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas para pengelola data, diharapkan adanya upaya untuk peningkatan sarana/prasarana yang diperlukan untuk kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data pertanian; termasuk peningkatan fasilitas teknologi informasi dan pengembangan web site di unit kerja masing-masing.

5. Guna meningkatkan kapasitas sumber daya manusia diharapkan adanya kegiatan pelatihan statistik dan komputer secara berkelanjutan bagi petugas statistik di tingkat kecamatan (Mantri Tani/KCD, Mantri Kebun, Mantri Kehewanan dan Mantri Statistik/KSK), tingkat kabupaten/kotamadya dan propinsi;

Para peserta Forum yang saya hormati,

Demikian sambutan saya secara umum, mudah-mudahan beberapa masukan tersebut di atas dapat dibahas dan diperoleh alternatif pemecahan untuk berbagai masalah yang ada dalam rangka meningkatkan kualitas data dan statistik pertanian untuk mendukung program pembangunan pertanian di masa mendatang.

Akhirul kata, billahi taufik wal hidayah,

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Terima kasih dan selamat berdiskusi.

Menteri Pertanian,

Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS.

KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Berbagai program dan kegiatan perlindungan tanaman dikelola dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga khusus, baik yang ada di pemerintah, industri, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat tani.
A. Kelembagaan Perlindungan Tanaman Pemerintah
Susunan organisasi dan program kerja perlindungan tanaman di organisasikan pemerintah bervariasi, sangat ditentukan oleh struktur organisasi kabinet pada periode pemerintahan tertentu.
1. Jenis Lembaga
a. Pemerintah Pusat
Dalam jajaran pembantu Menteri Pertanian periode 2004-2009 di samping beberapa pejabat eselon I, termasuk 5 Staf Ahli Menteri Pertanian, terdapat 4 Tenaga Ahli. Salah satu Tenaga Ahli bidang Perlindungan Tanaman. Selanjutnya, kelembagaan perlindungan tanaman pusat di Departemen Pertanian tersebar di beberapa lembaga eselon I yaitu :
1. Pusat Karantina Tumbuhan di Bawah Badan Karantina Pertanian.
2. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman mempunyai 2 UPT, yaitu Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT).
3. Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura di Pasar Minggu, Jakarta. Direktorat ini belum mempunyai UPT.
4. Direktorat Perlindungan Perkebunan untuk sementara ini masih mempunyai (4) UPT Pusat, yaitu Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) yang ada di Medan, Jombang, Pontianak, dan Ambon.

b. Pemerintahan Propinsi
Dengan Otonomi Daerah, keberadaan dan struktur organisasi Dinas Pertanian menjadi sangat beragam antarpropinsi. Dalam organisasi Pemerintah Propinsi terdapat dua dinas yang mungkin membawahi bidang perlindungan tanaman, yaitu Dinas Pertanian ( Tanaman Pangan dan/atau Hortikultura) dan Dinas Perkebunan. Disamping subdinas/seksi perlindungan tanaman dan hortikultura, yaitu UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH). Di setiap propinsi terdapat perangkat Brigade Proteksi Tanaman (BPT) yanag berfungsi melaksanakan dan atau membantu pengendalian ekspolsi dan sumber serangan OPT yang terjadi di wilayah kerjanya. Di subsektor Perkebunan direncanakan pada iap propinsi dapat beroperasi BPTP ( Balai Proteksi Tanaman Perkebunan) atau sub-BPTP lengkap dengan instalasinya yang meliputi :
1. Laboratorium Lapangan (LL)
2. Wilayah Pengamatan
3. Laboratorium Utama Pengendalian Hayati (LUPH)
4. Laboratorium Pengendalian Hama Vertebrata (LPHV)
5. Satuan Alat Peralatan Pemberantasan / Brigade Proteksi Tanaman (BPT)
6. Laboratorium Analisis Pestisida (LAP).

c. Pemerintah Kabupaten/ Kota
Lembaga perlindungan tanaman perkebunan di pemerintah kabupaten biasanya berada di Dinas Pertanian atau Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagai bidang atau seksi. Tugas pokok PHT/POPT yang berada di kecamatan adalah menyiapkan, merencanakan, melaksanakan, mengembangkan mengevaluasi, membimbing dan melaporkan pengawasan, analisis peramalan serta melakukan pencegahan. Di tingkat kecamatan/lapangan terdapat Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan Mantri tani/Kepala Cabang Dinas (KCD) yang mempunyai peran dalam menyebarkan informasi tentang OPT dan cara pengendaliannya kepada petani di wilayahnya masing-masing, serta mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian OPT yang dilakukan petani.
1. Kewenangan
a. Pemerintah Pusat
Dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagian besar tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat diserahkan atau dilimpahkan kepada Pemerintahan Daerah. Beberapa kewenangan perlindungan tanaman yang ada di pemerintah Pusat adalah sebagai berikut :
1. Karantina pertanian sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat karena tidak dilimpahkan ke propinsi maupun kabupaten.
2. Pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, dan pemusnahan pestisida dan bahan kimia pertanian lainnya, obat hewan, vaksin, antigen.
3. Penetapan norma dan standar teknis pemberantasan OPT pertanian
4. Penetapan kriteria dan kriteria konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlidungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari dibidang perkebunan.
5. Penetapan kriteria dan standar dalam penyelenggaraan penggunaan dan penanggulangan bencana pada areal perkebunan.

b. Pemerintah Propinsi
Kewenangan Pemerintah propinsi dalam bidang perlindungan tanaman meliputi :
1. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota
2. Penyediaan dukungan pengendalian eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, hama, dan penyakit dibidang pertanian lintas Kabupaten/Kota
3. Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit di bidang pertanian.

c. Pemerintah Kabupaten/ Kota
Kewenangan Kabupaten Kota di bidang pertanian mulai dari kewenangan perencanaan dan pengendalian, pengelolaan sumber daya alam, prasarana dan sarana pertanian sampai kepengembangan data dan informasi pertanian.
Beberapa kewenangan Pemerintah Kabupaten khusus dalam bidang perlindungan tanaman antara lain :
1. Demonstrasi teknologi pertanian spesifik lokasi.
2. Bimbingan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi
3. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi
4. Pengkajian dan pemberian bimbingan terhadap penerapan teknolgi yang sesuai dengan tipe ekologi lahan
5. Pengembangan SDM baik petugas penyuluh pertanian dan petani maupun dan pengembangan kelembagaan petani
6. Pelaksanaan dan bimbingan penyuluhan pertanian, pengembangan institusi penyulyhan yang terkait
7. Pengumpulan, pengolahan, analisis data dan statistik serta informasi pertanian