Senin, 29 Maret 2010

SIAPAPUN PRESIDENNYA, AS TETAP MENDUKUNG ISRAEL

by Farid Wadjdi

Ketegangan hubungan Washington dan Tel Aviv tidak lebih dari sekedar “krisis retorika dan perbedaan taktik” saja yang akan segera berakhir, seperti segera berakhirnya perselisihan yang biasa terjadi antara ibu dan anak perempuannya.

Harian Jerussalem Post (25/3) memberitakan AS adalah satu-satunya negara Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) yang memveto tiga resolusi yang mengecam Israel, yang disetujui rabu (24/03). AS juga menjadi satu-satu negara yang menolak resolusi UNHRC tentang pemberian hak menentukan nasib seneri untuk Palestina.

“Dewan terlalu sering dimanfaatkan sebagai platform yang tunggal menyerang Israel, yang merusak kredibilitasnya,” kata Eileen Chamberlain Donahoe Duta besar AS membela tindakannya . Sementara itu, Duta Besar Israel untuk PBB di Jenewa Yaar Leshno Aharon mengatakan ia menghargai dukungan dari AS . “Kami telah menyaksikan hari ini bentuk lain dari sikap anti-Israel,” katanya.

Bukan untuk pertama kalinya AS memveto resolusi yang mengecam Israel, sekaligus ini membuktikan tidak ada perubahan yang mendasar dalam hubungan AS dan Israel . Situasi yang agak panas belakangan ini hanyalah riak-riak kecil yang tidak mempengaruhi dukungan abadi AS terhadap Israel. Para analis mengecilkan ketegangan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir antara Amerika Serikat dan Tel Aviv, setelah pengumuman terakhir mengenai rencana untuk pembangunan pemukiman di Yerusalem ketika Wakil Presiden Amerika – Joseph Biden- melakukan kunjungan ke Israel.

Pemerintah AS, beberapa hari ini telah berusaha mengurangi ketegangan dengan Israel, dimana Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton mengatakan kemarin dari ibukota Rusia, Moskow, bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu telah membuat proposal yang konstruktif untuk penyelesaian, dan mengakhiri perselisihan. Sementara Presiden AS, Barack Obama menilai apa yang terjadi dengan pemerintah Israel sebagai “perbedaan pendapat yang biasa terjadi di antara teman baik”.

Oleh karena itu, pakar urusan Amerika, Khalid Khalifah menilai “krisis retorika” antara Israel dan Amerika Serikat itu terjadi tidak lepas dari “hubungan keduanya dalam kepentingan yang mendalam dengan jaringan lobi Zionis, serta akibat dari kelemahan posisi bangsa Arab secara internasional”.

Negara Zionis Israel dan Kepentingan AS

Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiah li Hizbit Tahrir ketika menjelaskan persoalan di Timur Tengah mengatakan ada beberapa hal penting antara lain : terkait dengan Islam yang secara potensial mengancam Barat , letak strategis Timut Tengah yang mutlak dibutuhkan dalam transportasi dunia , penjajahan Barat atas dunia Islam terutama kekayaan minyak dan keberadaan negara Israel sendiri.

Kepentingan AS terhadap minyak Timur Tengah tampak pada dokumen pada tahun 1944. Departemen Luar Negeri AS menggambarkan Semenanjung Arabia sebagai berikut: ‘Suatu sumber besar bagi kekuasaan strategis dan hadiah material terbesar dalam sejarah dunia.’ Amerika Serikat menyadari bahwa kendali menyangkut persediaan minyak di kawasan itu adalah suatu sarana untuk mengendalikan dunia.

Sebagaimana dikemukakan oleh George Kennan, perencana berpengaruh dalam menghadapi Uni Soviet di tahun 1949: ‘Jika AS mengontrol minyak, itu akan memberikan kekuatan veto dalam menghadapi potensi saingan di masa mendatang dengan negara semacam Jerman dan Jepang.’ Karena menyadari potensi Timur Tengah, AS merancang berbagai strategi dan rencana untuk mengendalikan kawasan itu.

Adapun menciptakan dan mendukung Negara Israel di bumi Palestina adalah strategi penting yang dilakukan oleh negara-negara imperialis terutama Inggris dan Amerika . Keberadaan negara Isreal jelas akan menimbulkan konflik dan ketidakstabilan yang terus-menerus di Timur Tengah. Krisis tersebut jelas akan menyedot energi dan dana dari umat Islam. Hal ini bisa mengalihkan kaum Muslim dari upaya memikirkan kembali penegakkan Daulah Khilafah yang dibubarkan tahun 1924. Amerika dan Inggris juga yang memanfaatkan Israel sebagai “kambing hitam” untuk mengalihkan perhatian ummat Islam sedunia.

Gagasan pemberian tanah air bagi bangsa Yahudi dikemukakan Perdana Menteri Inggris, Henry Bannerman pada 1906: ‘Ada sebuah bangsa (umat Islam) yang mengendalikan kawasan yang kaya akan sumber daya yang nampak dan tersembunyi. Mereka mendominasi persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki satu keyakinan, satu bahasa, sejarah, dan aspirasi yang sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lain…jika, suatu saat, bangsa ini menyatukan dirinya dalam satu negara; maka nasib dunia akan berada di tangan mereka, dan akan memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya. Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah organ asing harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut guna mencegah terkembangnya sayap mereka, dengan suatu cara yang dapat mengurangi kekuatan mereka dalam perang yang tak kunjung henti. Badan ini juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkannya.

Israel dibentuk berdasarkan kepentingan Inggris untuk menanamkan sebuah organ asing di tengah Dunia Islam. Akan tetapi melemahnya Inggris setelah Perang Dunia II membuat AS mengambil alih kendali atas kawasan tersebut. Karena itu tidak mengherankan siapapun presiden Amerika Serikat, termasuk Obama, tidak akan terjadi perubahan mendasar dalam hal dukungan AS terhadap Israel.

AS membutuhkan Israel untuk kepentingan politik luar negerinya di Timur Tengah. Walhasil, sungguh aneh kalau ada ingin menyelamatkan Palestina tapi mendukung kedatangan presiden dari negara yang selama ini menjadi pendukung sejati negara Zionis-Israel. Kalau pun ada gesekan antara kedua negara itu, kalau tidak merupakan rekaya, sekedar riak-riak kecil yang tidak berarti.(TMU 33)

Box : Dukungan Sejati Obama Kepada Zionis Israel

New York Sun Editorial (January 9, 2008) mengungkap bagaimana sikap Obama terhadap Israel.“saya memiliki komitmen yang jelas dan kuat atas keamanan Israel sekutu terkuat kita di wilayah itu dan satu-satunya di wilayah itu negara dengan demokrasi yang mapan. Dan itu akan menjadi titik awal saya”, ujarnya. Obama juga mengatakan. “Jika saya menjadi presiden Amerika, maka negara ini harus bahu membahu dengan Israel,” seperti dikatakan Obama kepada Dewan Demokrasi Yahudi Nasional (The National Jewish Democratic Council) bulan February 2007.

“Mereka yang telah bekerja dengan saya di Chicago pada Dewan dan sekarang ada di Senat AS akan menyaksikan bahwa saya bukan cuma omong besar, saya akan melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel. Saya piker ini hal yang fundamental. Saya kira ini menyangkut kepentingan AS kerena hubungan kami yang istimewa, karena Israel tidak hanya telah membangun demokrasi di wilayah itu tapi juga merupakan sekutu terdekat dan loyal kepada kita,” katanya pada NJDC..”

“Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60. Dia diperkenalkan oleh duta besar Israel kepada AS, Sallai Meridor

Sikapnya terhadap Hamas juga tidak berbeda dengan presiden Bush. “Saya sudah mengatakan bahwa mereka adalah organisasi teroris, yang tidak boleh kita ajak negosiasi kecuali jika mereka mengakui Israel, meninggalkan kekerasan, dan kecuali mereka mau diam oleh perjanjian sebelumnya antara Palestina dan Israel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar